Tuesday, August 6, 2019

Cukup

Petang ini, kupinjam wujudmu
yang mengingkar dengan kejam;
beri sayap untuk dipatahkan–
Sungguh perih tak terelakan

Tegur sapamu hanyalah padam
berpendar dalam nyala kunang-kunang
merindu akan lenyap--memudar
tersadar
dari mimpi-mimpimu
yang tak dapat kurengkuh

Termangu dalam ramai kesepian
hanyut dalam harap–tak berhulu
tangkap desir syahdu kekecewaan–dalam bising
yang kian lama makin meruap

Adamu adalah sorai yang senyap
dalam riuh kepulangan cericit burung yang sedih
di tengah hujan
yang nyata hanyalah rana; merona di pipimu menyala
denganmu, abadi adalah fana
dan malam berkunjung ke rumahku menanyakan mati

Dari karsamu dan sedikit rasa
yang perlahan mulai menepi
jauh dari beranda mataku
jauh dari jalan-jalan yang pernah kita lalui

- Jakarta Di Ujung Pena

SABUR; LEBUR

-
Setahun pertama aku sentosa
Didekap hangat rahimnya
Juga akrab dengan hati ibunda
Sampai-sampai aku dibangunkan semesta

Lalu luka-luka terbit
Beserta keseriusan yang menjerit
Lambat pasal-pasal berdecit
Yang akhirnya bebasku menyempit

Dua tahun pertama aku sejahtera
Tertidur dalam gendongan ayah
Mencintainya tanpa luka
Sampai-sampai aku ditikam realita

-
Semua tak lagi sama
Duka tak pernah ingin sirna
Menghujani hati penuh luka
Tanpa henti tanpa jeda

-
Lidah kelu tiada kata
Tangis pecah tiap pukul tiga
Tergerus aku oleh air mata
Mendamba bahagia tetapi merana

-
Aku pikir akan terus bahagia
Baik-baik saja pun tak selamanya bisa
Sebab luka yang terus tercipta
Membuatku sesak menelan air mata

-
Kini bahagiaku telah terganti
Oleh pekatnya luka tanpa henti
Mencoba menggores setiap sisi
Hati yang tiada utuh lagi

-
Ibu ayah,
Semoga saja kita tak limbung; dilumat isak tak berujung.

— 2019.