Jika ada yang bisa menerima luka lebih tabah dari hujan bulan juni, tentu ia adalah bibirmu. Samudra maha luas yang menenggelamkanku pada harapan dan kepasrahan pada waktu bersamaan.
Aku suka samudra sejak langit matamu memantulkan mataku. Aku luka—dan kalian adalah biru. Lalu dalam gelombang kembara di tubuhmu, kutemukan sisa-sisa aku yang kambang berserak di bilik-bilik cilik dalam dadamu. Kau adalah yang paling aku—harapan serupa lampion yang kelak takut kurela pada laut lepas. Sebab, mengutuhkan kita pasti akan menjadi palung yang paling.
Kita masih serupa anak kecil yang selalu saja mendamba peluk satu sama lain. Atau, kalau keakuan sedang kerdil, kita suka sekali main berlama-lama di bawah sinar matahari tanpa memikirkan bagaimana kusamnya kulit kita nanti.
Namun, aku tidak ingin menjadi seperti itu lagi. Karena, dengan sadar yang utuh, aku paham bahwa nanti kau juga akan beranjak pergi—ke pantai, perpustakaan, luar kota, atau ke mana saja yang tidak ada aku. Maka pasti—dengan terpaksa—aku harus menyembuhkan lukaku sendirian. Aku tak punya kau lagi sebagai yang menggenggam kala ombak terlalu ganas, atau yang menyelam di kedalaman mataku untuk mereguk semua takut.
Aku kembali sendirian.
Malam kembali menyepi.
Padahal dahulu aku akrab sekali dengan rasa-rasa ini; rasa sendiri, sepi, juga gigil, tetapi tidak lagi setelah kau sempat bertandang. Aku menjadi seseorang yang tidak ingin menjalani hari tanpa menatap matamu. Menjadi yang tidak ingin hilang, terlepas—atau dilepas—, dan tidak dimimpikan.
Maka kau mutlak harus segera pergi. Aku tak ingin punya candu pada apapun yang tak bersedia kekal untukku. Mulailah bersiap, akan kusiapkan juga bekal perjalananmu, yang terbaik, pasti. Tidak apa-apa, aku cukup kuat untuk menahan luka akibat pisau-pisau ingatan yang menyayat di hari-hari yang setelah ditinggalkanmu.
Tidak apa-apa, kenangan akan kuusahakan lesap. Meski dengan begitu, aku harus terus berdarah, lalu bernanah,
lalu tidak ingin sembuh.